Banyak orang yang tidak percaya adanya makhluk halus seperti Genderuwo, 
Kuntilanak, Jin dan sejenisnya. Tapi banyak pula orang yang percaya dan 
yakin bahwa mereka itu ada. Dan salah satu orang yang percaya adanya 
makhluk halus itu adalah aku (Penulis)).
Dulunya, aku tidak percaya 
sama sekali tentang kisah-kisah berbau hantu. Namun hal itu berubah 
setelah aku sendiri mengalami sebuah peristiwa yang sangat menyeramkan, 
sekaligus mengerikan. Pengalaman ini pula yang sekaligus memberiku 
hidayah untuk kembali menjalankan segala perintah Allah SWT. Ya, sejak 
peristiwa ini aku kembali rajin menjalankan sholat baik wajib maupun 
sunnat, padahal sebelumnya aku termasuk pemuda yang berandalan. Karena 
pengalaman ini pula setiap malam aku kian rajin membaca Al Qur'an.
Kisah
 mistisku ini terjadi di bulan Mei tiga tahun silam. Tepatnya malam 
Minggu Kliwon, tanggal 23 Mei 2004 yang lalu. Dan sampai sekarang 
kejadian ini masih membekas jelas di ingatanku. Mungkin ini akan menjadi
 sebuah pengalaman mistis yang menakutkan sepanjang hidupku.
Sebagai 
pemuda yang masih lajang, setiap malam Minggu, aku paling suka menonton 
hiburan dangdutan, yang ditanggap orang yang sedang mengadakan pesta 
hajatan. Baik itu di kampungku ataupun di kampung-kampung tetangga. 
Selain sekedar mencari hiburan, siapa tahu ada gadis yang mau denganku 
untuk kujadikan pacar. Biasanya kami selalu pergi berombongan dengan 
mengendarai sepeda motor.
Ceritanya, malam itu terpaksa aku pulang 
sendirian dari menonton acara dangdutan di kampung seberang. Jarak 
kampungku dengan kampung seberang kurang lebih 2 Km. Jalan penghubung 
satu-satunya dari kampungku ke kampung seberang harus melalui perkebunan
 karet.
Entah mengapa kampung itu disebut kampung seberang. Menurut 
orang-orang tua, di kampungku karena letaknya di seberang sungailah, 
maka disebut kampung seberang.
Semua teman-temanku malam itu sudah 
pulang duluan. Sebenarnya salahku sendiri, karena sebelumnya kami sudah 
sekapat, jam setengah dua belas malam harus sudah berkumpul di satu 
tempat yang sudah disepakati untuk pulang bersama-sama. Karena keasyikan
 menonton acara dangdutan, hingga aku lupa pada kesepakatan itu. 
Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua belas aku belum muncul 
juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk pulang saja. Semua 
teman-temanku mengira, aku sudah pulang duluan.
Sialnya, malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Sewaktu pergi tadi, aku dibonceng sepeda motor temanku.
Dengan
 perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian saja dengan berjalan 
kaki. Apalagi jarak kampungku tidak begitu jauh. Perasaan takut tak jadi
 masalah bagiku. Dari kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya 
takut. Apalagi dengan hantu, aku sama sekali tidak mempercayainya.
Suara
 jangkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali 
suara burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri 
membisu berjajar di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan sedang 
purnama, hingga keadaan jalan tidak begitu gelap.
Untuk mengusir 
kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemeranku. 
Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah perkebunan karet, entah mengapa 
tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan 
pukull satu malam.
Tiba-tiba sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di depanku. Suaranya mengejutkanku hingga jantungku hampir copot.
"Satu langkah lagi, habislah aku," batinku.
Karena
 menghalangi jalan, kucoba untuk menyingkirkan cabang kayu itu 
kesamping. Belum lagi cabang kayu itu berhasil kusingkirkan, tiba-tiba 
terdengar suara tawa cekikikan. Nyaring sekali. Hati kecilku berkata, 
"jangan-jangan ini Kuntilanak!"
Kuperhatikan sekelilingku tetapi 
tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu terdengar. 
Kuperhatikan kembali sekelilingku. Tapi tetap tidak ada apa-apa. Hanya 
pepohonan karet yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan.
Lagi-lagi
 suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan 
berulang-ulang. "Benar ini pasti Kuntilanak!" kataku dalam hati.
Karena
 suara tawa itu terus saja terdengar, bukanya takut malah timbul rasa 
jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.
"Heiii...Kuntilanak!
 Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan 
wujudmu. Kau pikir aku takut, dasar setan. Keluar kau!"
Begitu aku 
selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku 
dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini, 
tidak ada setitik pun rasa takut di benaku. Malah timbul rasa 
penasaranku. Seperti apa sih Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat, 
tapi suara tawa itu tidak terdengar lagi.
Dengan perasaan jengkel 
kembali aku bermaksud melangkahkan kakiku. Tapi belum sempat kakiku 
melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dari belakang, diiringi 
sapaan suara perempuan. "Baaang!"
Dengan terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap kebelakang.
Seorang
 perempuan dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah 
darimana datangnya. Buru-buru aku mundur beberapa langkah ke belakang, 
sambil terus memperhatikan perempuan itu. Kulihat baju putih panjangnya 
menutupi kaki dan tangannya.
Dan tiba-tiba saja tercium bau bunga 
kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu, tiba-tiba dengan 
berlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di keremangan malam,
 kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan 
dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambutnya acak-acakan.
Spontan
 rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan. 
Jantungku berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu 
tertawa cekikikan sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya 
diacungkan padaku, seolah ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut.
 Ternyata jari-jari tangannya tinggal tulang semua.
"Kun...Kun...Kuntilanak!!" teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil langkah seribu.
Melihat
 aku lari, Kuntilanak itupun ikut berlari mengejarku. Sekilas dapat 
kulihat tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya yang
 mengerikan.
Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak 
itu terus saja mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan.
 Sementara rasa takut yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali 
ini aku merasakan takut yang teramat sangat.
Di saat genting itu, 
tiba-tiba ada cahaya lampu dari depanku. Begitu ada cahaya lampu, suara 
tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah kuhentikan lariku. 
Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah menghilang. 
Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku.
Sambil 
mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu
 mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku.
 Tapi semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara 
sepeda motor yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang 
menusuk hidung. Kembali rasa takut mulai menjalariku.
Begitu cahaya 
lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga! 
Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat. 
Mereka berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tidak berdarah 
lagi. Jantungku berdegup kencang.
Keberanian yang dulu 
kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan amat jelas kulihat satu orang 
tanpa kepala dengan leher berlumuran darah, membawa lampu berupa bulatan
 cahaya yang sangat terang.
Empat orang pengusung keranda mayat, 
mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi bercak-bercak darah di 
sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di belakang, tubuhnya 
juga tidak ada yang utuh.
Mataku melotot tidak bisa dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan sekali.
Tiba-tiba,
 rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku. 
Lalu secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya
 dan menatap ke arahku.
Rasa takut yang kurasakan semakin 
menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan takut. Wajah-wajah makhluk 
itu sangat mengerikan. Mereka menatapku dengan tajam. Lalu salah seorang
 datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu 
matanya menggantung keluar hampir copot. Isi perutnya terburai keluar. 
Dengan jalannya yang seperti robot, makhluk itu mendekatiku.
Ingin 
rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan 
cepat tangan makhluk itu mencengkeram bahuku. Kucoba meronta melepaskan 
cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat 
sekali. Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku 
dilemparkan kearah keranda mayat.
Tubuhku melayang menuju keranda. 
Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka sendiri. Lalu dengan 
telak tubuhku jatuh ke dalam keranda itu. Dengan cepat penutup keranda 
itupun menutup kembali.
Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta 
kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu. 
Tapi sungguh sangat sulit.
Aku coba berteriak meminta pertolongan. 
Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Bagai tikus 
terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta kesana-kemari. Sambil 
terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku sia-sia.
Lalu 
dengan bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian 
mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta. 
Karena dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang 
semakin lemah, akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat
 apa-apa lagi.
***
Sayup-sayup kudengar suara orang membaca 
ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sesekali diiringi suara orang 
memanggil-manggil namaku. Dengan berlahan-lahan kucoba membuka mataku. 
Kulihat disamping kananku ada Pak Haji Ismail yang tengah khusuk membaca
 Al-Qur'an. Sementara di samping kiriku, kulihat Ibuku yang tengah 
memandangiku dengan kedua matanya yang sembab, menandakan kalau Ibuku 
habis menangis.
Begitu melihat aku membuka mata, langsung Ibuku memelukku dan menciumi pipiku sambil terus menangis.
"Alhamdulillah Ya Allah, kau sudah sadarkan diri, Anakku. Terima kasih ya Allah," ratap Ibuku berkali-kali.
Ayahku
 yang duduk di samping Ibuku, segera menenangkan Ibuku yang terus 
menangis memelukku. Sementara aku hanya diam. Aku bingung, apa 
sebenarnya yang telah terjadi denganku.
Pak Haji Ismail yang sedari 
tadi duduk di sampingku membaca Kalam Illahi, dengan senyumnya yang 
teduh menyuruhku meminum segelas air putih yang sudah disediakan.
"Sudah satu minggu kamu pingsan, Mat! Kamu ditemukan tergeletak pingsan di tengah kuburan." kata Pak Haji menjelaskan.
Mendengar
 kata kuburan, aku teringat kembali pada kejadian yang menimpaku. Dengan
 perasaan yang masih diliputi rasa takut, kuceritakan semua kejadian 
yang kualami dari awal sampai akhir. Semua orang yang hadir di ruangan 
itu bergidik ngeri mendengarkan ceritaku.
Sejak kejadian itu hingga 
sekarang, aku kian rajin mendekatkan diri pada Allah SWT. Kukerjakan 
lagi sholat, setelah sekian lama kutinggalkan. Kubuka lagi kitab suci 
Al-Qur'an, setelah sekian lama tidak pernah kubaca. Walaupun kejadian 
itu masih membuatku trauma pada kesunyian, namun aku kian menyadari 
bahwa memang ada dimensi kehidupan lain yang diciptakan Allah SWT di 
samping kehidupan manusia yang nyata ini.
Semoga pembaca semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang kualami ini.
DIALOG USTAZ VS AWANG : KENAPA USTAZ BENCI ANWAR
                      -
                    
Kenapa Ustaz bencikan Anwar Ibrahim 
*USTAZ* : "Ana nak tegur sikit, enta jangan marah...." .
*AWANG *: "Eh, takkan saya nak marah.... nak tegur apa, Usta...
9 tahun yang lalu



