Api cemburu memang telah membakar seluruh sel darah dan perasaanku. Tapi
aku sulit mene-rima jika dikatakan kecemburuanku itu tak lebih sebuah
“cemburu buta.” Sebab, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat Melati
(nama samaran), isteriku digumuli oleh laki-laki lain.
Awalnya, aku
memang tak pernah percaya bahwa Jo, saudara sepupuku yang telah senasib
seperjuangan merantau di negeri Jiran (Malaysia) itu akan
mengkhianatiku. Bahkan isyu-isyu yang sempat berhembus di tempat kami
bekerja yang menyatakan Jo berselingkuh dengan Melati, kuanggap sebuah
fitnah yang amat keji.
Jo terlalu baik padaku. Wajar jika sebagian
penghasilanku sebagai buruh bangunan di perantauan selalu kukirim ke
Melati lewat dia. Jo lah yang kupercaya untuk “hilir mudik” ke kampung
halaman mengantar nafkah untuk anak isteriku itu. Terlebih, Thole, anak
kami satu-satunya sudah mulai masuk ke bangku SLTP di kampung. Ya, semua
seolah memacu semangatku untuk bekerja lebih keras lagi mengumpulkan
Ringgit di negeri Jiran.
Hari-hari indah bersama Melati selalu
mengusik mimpi-mimpiku. Ada kerinduan yang amat dalam yang hanya bisa
kutahan di perantauan. “Oh, isteriku, mungkinkah isyu itu benar-benar
ada dan terjadi atas dirimu?” batinku.
Lama-lama aku memang mulai
gelisah. Terlebih Parto, yang juga teman sekerjaku, tadi siang sempat
menasihatiku.
“Memang, sebaiknya kamu cepat pulang kampung, Yan.
Itupun kalau kamu tidak ingin rumah tanggamu hancur!” ucap Parto pelan
sembari mengelus-elus pundakku.
“Apa maksudmu berkata seperti itu,
To?” tukasku kaget.
Lama Parto terdiam. Seolah ingin menata kalimat
selanjutnya yang dirasa cukup pantas untukku.
“Begini...” lanjut
Parto. “Kamu harus hati-hati sama Jo. Meski dia saudara sepupumu, tapi
laki-laki sama saja. Melati, isterimu terlalu ringkih untuk menghadapi
kenyataan berpisah cukup lama dengan sang suami. Dan, masa tiga tahun
memang bukan ukuran pendek untuk menahan rindu....”
“Parto! Aku
peringatkan, jika kamu masih ingin menjadi sahabatku, jangan kau ulangi
fitnah-fitnah kejimu itu, mengerti?” bentakku. Parto nampak terkejut
sekali melihat sikapku.
“Tahukah kamu, Jo itu bukan orang lain.
Pantas isterimu di kampung minta cerai gara-gara omonganmu yang tajam
seperti itu!” geramku sambil langsung mencengkeram krah baju Parto.
Kontan, Parto pucat-pasi menerima kemarahanku. Dia pun minta ampun
sebelum ngeloyor pergi.
Tapi, diam-diam aku tak mampu membohongi
hatiku. Ada bara dalam jiwa atas isyu-isyu yang beredar di tempat
kerjaku itu. Aku tidak tenang, malah tadi pagi ibu jariku terkena
pukulan palu yang kuayun sendiri. Terlebih baru kemarin lusa Jo kusuruh
mudik mengantar jatah gaji buat Melati. Duh Gusti Allah, rasanya ingin
malam ini juga kuseberangi selat Malaka yang ada di kejauhan sana.
Akhirnya
secara diam-diam aku mudik. Tekadku telah bulat ingin membuktikan isyu
gila yang sempat berhembus ke Malaysia itu. Terpaksa aku naik pesawat
terbang untuk mempercepat waktu, tapi tak ayal memasuki terminal
terakhir di kotaku tetap menjelang dini hari. Padahal aku memperkirakan
selepas Maghrib sudah tiba di rumah.
Entah, dorongan darimana aku
ingin menuju kampung halaman malam itu juga, dengan sebuah ojek. Tapi
kira-kira 1 Km menjelang rumahku, ojek berhenti. Aku melingkar menembus
kebun singkong di belakang rumah dan dengan mengendap-endap menyusup
tepat di luar kamar Melati, isteriku!
Untunglah, kamar Melati masih
separo papan hingga aku bisa mengintip lewat celah-celah sirap itu.
Ternyata Melati belum lelap. Dadaku berdegub kencang melihat tubuh
isteriku yang sintal itu mene-lentang di atas ranjang. Ia menerawang ke
langit-langit kamar sambil sesekali menghela nafas panjang. Ya, mungkin
sedang memikirkan aku, merindukan aku, mungkin.
Thole, anakku tidak
tampak di sampingnya. Barangkali sedang menginap di rumah neneknya,
sebagaimana kebiasaan Thole sejak kecil.
Malam terus bergulir dan
merambat ke dini hari. Melati bangkit dari pembaringaan, keluar kamar.
Masuk lagi dan duduk di depan cermin. Dan Masya Allah, dia bersolek di
depan cermin! Bahkan melepas CD dan branya. Tak ayal nafasku memburu
melihat dua bukit yang ranum dan padat itu. Setelah itu ia keluar lagi,
dan ya Tuhan, balik lagi ke kamarnya dan menuntun seorang laki-laki!
Nyaris
aku tak mampu menahan diri, tapi aku masih ingin bukti. Kakiku
menggigil seketika dan seluruh persendianku seperti copot begitu
menyaksikan laki-laki itu langsung menciumi wajah isteriku. Laki-laki
itu adalah Jo, adik sepupuku sendiri yang kemarin lusa kusuruh
mengantarkan penghasilanku untuk Melati.
Dengan penuh nafsu Jo
menciumi wajah, bibir, leher, dan ujung-ujung bukit di dada isteriku.
Karuan saja, Melati menggeliat tak tahan diperlakukan seperti itu dan
langsung melepas daster transparan yang ia kenakan malam itu.
Degup
jantungku kian terpacu. Aku hampir pingsan menyaksikan tubuh isteriku
direbahkan di atas kasur seraya membuka kedua kakinya. Dengan
profesional Jo memanggul kaki-kaki Melati yang mulus dan jenjang itu,
dan seterusnya aku tak mau menceritakannya di sini.
Aku spontan
melompat pintu depan rumahku. Dengan bara emosi yang tumpah, kuterjang
pintu dan jebol seketika. Kedua insan yang tengah bergumul di kamar itu
terkesiap. Jo sedianya mau lari karena panik, tapi dengan kalap
kuhantam dadanya yang bidang dengan tinjuku kemudian kuterjang tepat
kemaluannya hingga ia roboh tak berkutik di lantai. Melati
menjerit-jerit, tapi sebelum aku ambil langkah seribu masih sempat
memukul telak ibu dari anakku itu.
Selebihnya aku segera mengambil
langkah seribu, menembus ujung pagi yang masih berkabut. Sesampainya di
terminal kota aku naik bus ke arah timur. Dalam kendaraan itu aku tanpa
tujuan pasti, hanya membawa kehancuran hati. Akhirnya menjelang petang
aku tiba di kota Banyuwangi. Aku mulai kebingungan, akankah aku terus
menyeberang ke Bali? Lalu ke mana tujuanku nanti?
Kebingungan mulai
merajuk ke benakku. Akhirnya aku menginap di sebuah Losmen kelas melati.
Dari perbincangan dengan sesama tamu, diam-diam aku menyadap inti
perbincangan yaitu soal santet. Kata tamu (yang sama-sama menginap di
losmen itu), ada tukang santet ampuh di sebuah desa di Banyuwangi
Selatan. Dia mau dimintai jasa untuk menyantet siapapun, asalkan
dibayar. Tapi praktek itu sangat rahasia, karena takut dihakimi oleh
massa.
Tanpa basa-basi, esoknya aku meluncur ke desa itu. Letaknya
cukup terpencil, karena harus naik turun perbukitan dan menyeberangi
beberapa sungai. Jarak antara rumah satu dengan yang lain saling
berjauhan hingga tak satupun orang yang menyangka bahwa aku butuh jasa
dukun santet.
Ringkas cerita, akhirnya aku tiba di rumah dukun santet
itu....
“Tolonglah saya, Mbah!” ucapku setengah merengek setelah
kami terlibat perbincangan yang cukup panjang. “Saya ini menderita
batin, Mbah. Ketika merantau ke Malaysia, isteri saya berselingkuh
dengan saudara sepupu saya sendiri.”
“Mungkin itu fitnah!” tukas
laki-laki tua itu.
“Tidak, Mbah, saya tahu dengan mata kepala saya
sendiri, ketika laki-laki itu bergumul di ranjang dengan isteri saya...”
lanjutku tak mampu menahan diri, terisak-isak.
“Laki-laki kok
nangis! Tujuanmu kemari untuk menyantet laki-laki yang meniduri isterimu
itu, kan?”
“I...iya, Mbah...”
“Kamu yang menanggung segala
dosa-dosanya kelak di hadapan Gusti Allah?” tatapnya, melotot. Wajah
laki-laki itu bukan saja angker sekaligus agak menjijikan. Betapa tidak,
wajahnya yang tirus penuh bopeng. Mungkin dulu bekas terkena cacar air,
pikirku. Rambutnya gondrong sebahu, dan dengan jenggot panjang yang
jarang-jarang mengingatkanku pada seekor kambing jantan. Hidungnya agak
bengkok, dan tatkala terkekeh giginya tampak kotor kekuning-kuningan.
Bibirnya menghitam lantaran terbakar asap kretek yang terus mengepul.
Tubuhnya kurus dan jangkung, tapi tatapan matanya tajam bak mata elang
kelaparan.
Setelah mendengar semua penu-turanku, laki-laki itu masuk
ke biliknya. Keluar lagi dengan membawa sebutir telur ayam kampung dan
minyak wangi (kalau tidak salah Cap Serimpi). Diolesinya telur itu
dengan minyak wangi. Perlahan-lahan namun pasti ia mengelus dan mengelus
telur itu sembari memejamkan matanya.
“Nama laki-laki itu siapa,
Nak?” tanyanya masih tetap terpejam dan mengelus telur ayam di tangan
kirinya.
“Jo, Mbah...” jawabku.
“Hari kelahirannya kamu tahu?”
celetuknya.
Aku mengerutkan kening, tapi aku terlonjak karena ingat
weton (kelahiran) si Jo.
“Anu, Mbah, Jum’at Pahing, ya-ya, Jum’at
Pahing, Mbah!” kataku dengan wajah berbinar.
“Jum’at 6, Pahing 9,
jadi 15! Wah, ini matinya lima belas hari lagi, Nak!” ujarnya yang
membuat bulu kudukku merinding seketika. Di antara ketakutan, aku
berusaha mempercayai ramalan itu.
Hari menjelang malam ketika pak tua
itu mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu puncak sebuah bukit kecil.
Di situ ia mengambil sebuah uborampe untuk menyantet, yaitu paku usuk
tujuh buah yang sama-sama sudah karatan, tengkorak manusia, bumbung, dan
keris kecil sepanjang satu jengkal. Kemudian balik lagi ke rumahnya,
membuat sesaji lengkap; ada bunga telon, kafan, telur ayam kam-pung,
minyak wangi dan entah apalagi yang aku tidak mengenalinya.
Pak tua
itu lalu membuat boneka dari tepung terigu, mirip adonan roti. Boneka
itu diisi mantra-mantra kemudian digeletakkan di atas nampan bersama
ubo-rampe tadi. Kemudian dia membakar kemenyan di sebuah anglo pedupaan.
Asap dupa mengepul memenuhi ruangan pribadinya yang sempit. Saya
disuruh mengamati tujuh butir telur ayam kampung itu. Sekejap kemudian
aku terpekik, karena melihat salah satu dari telur itu ada wajah si Jo,
saudara sepupuku.
“Mbah! I...itu, di telur itu ada wajah si Jo,
Mbah!” seruku.
Laki-laki itu membuka matanya dan mencomot telur
bergambar Jo itu. Aneh, mirip komputer saja, pikirku benar-benar
penasaran. Telur yang baru dicomot itu dimasukkan ke perut boneka tepung
tadi, hingga tampak membuncit (membusung). Boneka itu sebesar paha,
yang dilengkapi dengan anggota tubuh, pusar, mata, mulut, dan alat
kelamin.
“Ayo sekarang kita keluar rumah!” ajak pak tua.
Aku
mengikuti langkahnya, ternyata hanya di tengah halaman. Ia menghadap
lurus ke barat dimana kampungku berada.
“Pegang boneka ini kuat-kuat
jangan sampai lepas, ya!” perintahnya. Dengan wajah tegang diambilnya
tujuh paku berkarat itu dan dengan kejam ditusuknya perut buncit boneka
itu. Aneh, boneka itu bergetar. Aku kaget. Bahkan boneka itu mengaduh
dan meronta.
Pak tua itu tak peduli. Diambil lagi paku-paku berkarat
itu sampai habis, lalu ganti keris kecil dan semua ditusukkan ke perut
boneka. Gila, cairan hangat kental muncrat ke wajahku. Baunya anyir, dan
kuingat-ingat itu bau darah segar. Aku mual dan bergidik, karena boneka
itu mengejang dan berkelenjotan di tanganku.
“Nah, sudah selesai!
Kita tunggu lima belas hari lagi dia pasti mati, Nak!” katanya dengan
suara dingin. “Terus terang, Mbah paling benci dengan lelaki yang
mengganggu isteri orang,” tegasnya.
“I...iya, Mbah!” suaraku serak
karena tercekam takut.
Entah mengapa, diam-diam aku merasa ketakutan.
Merasa ngeri sendiri jika mengingat-ingat proses gaib tadi. Tapi sudah
terlanjur, apa yang akan terjadi, terjadilah.
“Berapa maharnya,
Mbah?”
“Tiga juta rupiah saja! Biasanya lima juta, tapi karena saya
kasihan padamu, ya cukup itulah, Nak!” kata pak tua itu.
Akhirnya
kurogoh lipatan uang di dompetku dan setelah kuhitung sejumlah tiga juta
kuserahkan kepadanya. Kontan wajah pak tua itu tampak sumringah yang
serta merta memasukkan duit itu ke lipatan sabuknya.
Setelah itu aku
pulang ke rumah. Rencanaku aku akan menuntut Jo ke depan yang berwajib,
tapi keburu polisi menangkapku. Aku dituduh menganiaya Jo dan isteriku
sampai Jo dibawa ke rumah sakit! Aneh, saat kulihat perut Jo buncit. Dia
hanya mampu mengerang-erang di ranjang rumah sakit. Kata dokter,
membengkaknya perut itu akibat tendangan maut di bawah pusar yang
mengakibatkan luka dalam pada usus halus dan usus besarnya.
“Dia
harus dioperasi secepatnya kalau ingin nyawanya tertolong,” demikian
kata dokter.
Aku hanya mencibir sinis. Dua hari kemudian aku
dijebloskan ke sel tahanan. Dalam proses peradilan pihak penegak hukum
mengalami kesulitan, karena Jo meninggal setelah lima belas hari dirawat
di rumah sakit. Tapi atas kesaksian isteriku, aku dijebloskan ke bui
selama 7 tahun. Cuma satu yang meringankanku, tak pernah dihukum dan
menyesal telah menganiaya saudara sepupuku itu. Belum lengkap
penderitaanku, karena setelah keluar dari penjara aku harus melakukan
proses perceraian di Pengadilan Agama.
Ya Tuhanku, masih adakah pintu
taubat terbuka untukku? Hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali aku
sholat. Thole anakku pun rupanya juga membenciku, dan itu mungkin karena
provokasi dari orang-orang luar, termasuk mertuaku.
Bagaimana dengan
Melati? Dia pernah menemuiku dan mengatakan sebenarnya dia masih
mencintaiku. Dia ingin kembali padaku. Mungkinkah? Hatiku yang paling
dalam mengatakan, “Maaf, hal itu tidak mungkin lagi, Melati. Maafkan
aku, cintaku telah terkubur bersama dendamku....”
Kini, kupasrahkan
hidup dan matiku hanya kepada Tuhan...!
Kisah mistis ini dituturkan
oleh Yan
DIALOG USTAZ VS AWANG : KENAPA USTAZ BENCI ANWAR
-
Kenapa Ustaz bencikan Anwar Ibrahim
*USTAZ* : "Ana nak tegur sikit, enta jangan marah...." .
*AWANG *: "Eh, takkan saya nak marah.... nak tegur apa, Usta...
8 tahun yang lalu